Kamis, 25 Agustus 2011

Pengolahan Ikan


BAB II
PEMBAHASAN

1.1        Pengolahan Ikan
Pengolahan ikan ini dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimumkan manfaat hasil tangkapan maupun hasil budidaya. Pengolahan ikan meliputi cara memilih ikan segar, perlakuan pada ikan, dan cara menghambat kebusukan.
2.1.1 Tahapan Pengolahan Ikan
Sebelum melakukan pengolahan, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan agar pengolahan ikan menghasilkan produk yang berkualitas. Tahapan tersebut antara lain :
1.      Tahapan pemilihan ikan segar
Pemilihan ikan yang segar dapat mengurangi waktu pembusukan. Dalam keadaan seperti ikan segar ini, biarpun ada kuman-kuman pembusuk tetapi belum cukup kuat untuk menghancurkan daging ikan. Dengan pengaruh panas maka kuman-kuman ini jumlahnya bertambah banyak, sehingga daging mulai lunak dan proses pembusukan terjadi. Berikut meruapakan tanda-tanda ikan yang segar:
a.       Ikan bercahaya seperti ikan hidup (warna keseluruhan termasuk kulit cemerlang).
b.      Jika ikan tersebut bersisik, sisik tersebut masih tertanam kuat pada dagingnya (kuat) dan mengkilat.
c.       Insang berwarna merah cerah.
d.      Badan kaku atau liat.
e.       Baunya masih seperti ikan hidup / segar.
f.       Mata ikan jernih dan terang.
g.      Daging kenyal.
h.      Mata jernih menonjol.
i.        Sirip kuat.
j.        Dinding perut kuat.

2.      Tahapan mempertahankan kesegaran ikan
Cara memperlakukan ikan yang sudah ditangkap, sangat mempengaruhi kecepatan pembusukan ikan tersebut. Ikan yang dari semula diperlakukan dengan tidak baik akan menghasilkan ikan bermutu tidak baik pula. Perlakuan terhadap ikan yang baik adalah sebagai berikut :
a.       Usahakan ikan tidak mati secara perlahan-lahan, tetapi mati dengan cepat.
b.      Setelah ikan mati, dinginkan dengan es untuk mengurangi pembusukan.
c.       Ikan tidak dilempar-lemparkan dan tidak terkena benda tajam.
d.      Buang bagian tubuh ikan yang mudah busuk, misalnya isi perut dan insang.
e.       Cuci dengan air bersih.
3.      Tahapan menghambat pembusukan ikan
Setelah ikan bersih, dilakukan metode untuk menghambat pembusukan. Pada prinsipnya, cara untuk menghambat pembusukan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu pendinginan dan pengawetan.
a.       Pendinginan
Pendinginan dapat dilakukan dengan diberi es dan juga dimasukkan ke dalam kulkas. Sebenarnya pemakaian es sangat baik, karena hal hal berikut :
·         Es sanggup mendinginkan ikan dengan cepat, panas dari ikan ditariknya sehingga ikan cepat dingin dan pembusukan terhambat.
·         Es berasal dari air sehingga tidak akan menimbulkan kesulitan apa-apa dan tidak membahayakan kesehatan orang.
·         Es melindungi ikan dari kekeringan dan ikan tidak cukup didinginkan saja tetapi harus dijaga jangan sampai kering, kalau kering akan timbul perubahan pada otot serta warna dagingnya.
·         Es mudah dibuat dan diperoleh.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pendinginan dengan menggunakan es. Hal tersebut antara lain :
Ø  Lapisan es dan ikan tidak boleh lebih tinggi dari 50 cm, sebab kalau lebih tinggi akan menyebabkan ikan disebelah bawah akan tergencet dan rusak.
Ø  Jika tinggi peti es lebih dari 50 cm, sebaiknya diberi sekat hidup untuk menahan beban ikan di sebelah atas.
Ø  Jenis ikan yang berkulit dan berduri kasar jangan dicampur dengan ikan yang berkulit halus.
Ø  Makin cepat ikan diberi es makin baik, sebab pembusukan tidak sempat berlangsung.
b.      Pengawetan
Naiknya pendapatan masyarakat menuntut ikan yang lebih baik dan lebih segar. Hal ini akan mendorong perbaikan mutu ikan yang dihasilkan sejak ditangkap sampai ke tangan konsumen sehingga dibutuhkan waktu ketahanan ikan segar dalam waktu yang cukup lama. Pada umumnya pendinginan hanya dapat menghambat pembusukan dalam waktu yang lebih pendek bila dibandingkan dengan pengawetan. Pengawetan ikan dapat dilakukan dengan cara pemindangan.
Pada intinya pemindangan merupakan perebusan ikan dalam air garam. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ikan pindang adalah kesegaran ikan, garam, & kondisi lingkungan (kebersihan alat dan bahan, proses pembuatan pindang, dan penyimpanan hasil pemindangan). Banyak cara pemindangan yang telah dilakukan, di antaranya :
·         Perebusan dengan larutan garam jenuh selama 10 menit
·         Penambahan bumbu (bawang & kunyit)
·         Perebusan dalam air garam 10 %
·         Tetapi dari hasil pemindangan seperti di atas, ikan akan mudah busuk karena kadar air yang tinggi.
Pengawetan dapat dilakukan dengan perendaman dalam es dan air laut, asam cuka dan air laut, garam dan air laut, asam cuka dan kalium sorbat, penambahan zat pengawet (asam sorbat, kalium, natrium sorbat, antibiotik klortetrasiklin (CTC), dan ortotetrasiklin (OTC)), tetapi penambahan zat pengawet tersebut mahal dan masih terdapat sifat toksik.
4.      Tahapan Proses Pengalengan
Proses pengalengan terdiri dari beberapa tahap yaitu pembuangan Udara (Exhausting), penutupan Wadah (Sealing), sterilisasi (Processing) dan pendinginan (Cooling)
a.       Pembuangan Udara (Exhausting)
Sebelum wadah ditutup, biasanya dilakukan penghampaan/exhausting untuk memperoleh keadaan vakum parsial. Tujuan penghampaan yaitu untuk memperoleh keadaan vakum dalam wadah yaitu dengan jalan mengeluarkan udara terutama oksigen (O2) yang ada dalam head space. Maksud penghampaan :
·         Mencegah terjadinya tekanan yang berlebihan dalam wadah pada waktu sterilisasi
·         Mengeluarkan O2 dan gas-gas dari makanan dan kaleng
·         Mengurangi kemungkinan terjadinya karat atau korosi
·         Agar tutup kaleng tetap cekung
·         mencegah reaksi oksidasi yang dapat menimbulkan kerusakan flavor serta kerusakan vitamin, misalnya vitamin A dan vitamin C
b.      Penutupan Wadah (sealing)
Tujuan penutupan wadah yaitu memasang tutup dari wadah sedemikian rupa, sehingga faktor-faktor penyebab kerusakan tidak dapat masuk lagi ke dalamnya setelah dilakukan sterilisasi. Penutupan kaleng dilakukan dengan alat khusus. Penutupan kaleng harus sempurna, sebab kebocoran dapat merusak produknya. Sebelum wadah ditutup diperiksa dahulu apakah head space-nya sudah cukup dan sesuai dengan perhitungan. Setelah ditutup sempurna, kaleng/wadah perlu dibersihkan jika ada sisa-sisa bahan yang menempel pada dinding kaleng / wadah. Pencucian dilakukan dengan air panas (suhu sekitar 82,2°C) yang mengandung larutan H2PO4 dengan konsentrasi 1,0 – 1,5 %, kemudian dibilas dengan air bersih beberapa kali
c.       Sterilisasi (Processing)
Sterilisasi (Processing) pada pengalengan adalah proses pemanasan wadah serta isinya pada suhu dan jangka waktu tertentu untuk menghilangkan atau mengurangi faktorfaktor penyebab kerusakan makanan, tanpa menimbulkan gejala lewat pemasakan (over cooking) pada makanannya. Suhu yang digunakan biasanya 121°C selama 20 – 40 menit, tergantung dari jenis bahan makanan. Pada umumnya suhu sterilisasi yang biasa dilakukan pada ikan di atas 100°C ( pada 121°C).
d.      Pendinginan (Cooling)
Pendinginan dilakukan sampai suhunya sedikit di atas suhu kamar, maksudnya agar air yang menempel pada dinding wadah cepat menguap, sehingga terjadinya karat dapat dicegah. Tujuan Pendinginan yaitu mencegah lewat pemasakan (over cooking) dari bahan pangan dan tumbuhnya spora-spora dari bakteri perusak bahan pangan yang belum mati.
Cara Pendinginan yaitu kaleng atau wadah yang sudah dipanaskan kemudian didinginkan dengan air dingin sampai suhunya 35 – 40°C. Pendinginan dapat dilakukan di dalam otoklaf sebelum autoklaf dibuka atau di luar otoklaf dengan jalan menyemprotkan air dingin. Air pendingin sebaiknya mengalami khlorinasi terlebih dahulu.



1.2        Limbah Ikan
Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber aktifitas manusia, maupun proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi negatif karena penanganan untuk membuang atau membersihkan memerlukan biaya yang cukup besar disamping dapat mencemari lingkungan. Limbah merupakan masalah di dalam usaha suatu industri termasuk industri perikanan yang menghasilkan limbah pada proses penangkapan ikan, penanganan, pengangkutan, distribusi dan pemasaran. Limbah perikanan dapat dapat berupa ikan yang terbuang, tercecer, dan sisa olahan yang menghasilkan cairan dan pemotongan, pencucian dan pengolahan produk (Jenie dan Rahayu, 1990).
Dampak limbah industri pengolahan ikan terhadap kesehatan lingkungan dapat dirasakan dengan bau limbah ikan yang menyengat sehingga mencemari udara, dapat dihinggapi lalat yang dapat menimbulkan penyakit dan berbagai dampak negatif lainnya. Industri pengolahan ikan harus memiliki metode dalam pengolahan limbah olahan ikan sehingga limbah olahan ikan tidak hanya dibuang begitu saja ditempat pembuang sampah. Bila industri pengolahan limbah tidak memperhatikan hal ini maka dapat menjadi tempat industri mereka bisa menjadi tempat pertumbuhan bakteri dan virus yang dapat menyebabkan penyakit.
Penanganan limbah olahan ikan harus menjadi perhatian besar bagi kita semua, apalagi di industri pengolahan ikan tradisional yang tidak memperhatikan limbah ikannya. Dinas kesehatan setempat harus memberikan gambaran kepada pengusaha industri pengolahan ikan tentang bahaya limbah industri.
1.2.1        Pengolahan Limbah Ikan
Limbah hasil perikanan dapat diolah menjadi tepung ikan, silase ikan, ikan asin, terasi, dan lain-lain. Pada proses produksi ikan asin pada dasarnya terdiri dari dua tahap, yaitu penggaraman dan pengeringan. Perbedaan-perbedaan yang terjadi pada umumnya hanya pada jumlah garam yang digunakan, lama penggaraman dan pengeringan. (Rahardjo, 1999).
Pada proses pengolahan limbah ikan tuna yang tidak terpakai maka dapat dilakukan silase. Silase ikan adalah merupakan produk cair dari ikan atau sisa-sisa ikan yang diawetkan dalam suasana asam. Silase ikan dapat diolah secara kimiawi maupun biologis. Pengolahan secara kimiawi dengan cara menambahkan asam-asam mineral atau asam organik, atau campuran keduanya. Pengolahan secara biologis adalah dengan mempergunakan kemampuan bakteri asam laktat yang terdapat pada ikan serta dengan penambahan sumber karbohidrat yang dapat menyebabkan jalannya fermentasi (Sukarsa, dkk., 1985). Silase ikan memiliki nilai gizi yang tinggi, memberikan rasa dan aroma yang khas, mempunyai daya cerna tinggi serta kandungan asam amino yang tersedia menjadi lebih baik. Keunggulan lain pengolahannya tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Kompiang (1990) mendefinisikan bahwa silase ikan adalah ikan utuh atau sisa-sisa ikan yang diawetkan dalam kondisi asam dengan penambahan asam (silase kimia) atau dengan fermentasi/kemampuan bakteri asam laktat (silase biologis). Silase ikan yang dihasilkan berbentuk cair karena protein ikan dan jaringan struktur lainnya didegradasi menjadi unit larutan yang lebih kecil oleh enzim yang terdapat pada ikan (Gildberg, 1978).

COMPOSTING


BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Definisi Kompos dan Pengomposan
Menurut Murbandono, 1993. Kompos ialah bahan organik yang telah menjadi lapuk, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak, padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan. Di lingkungan alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Lewat proses alami, rumput, daun-daunan, dan kotoran hewan serta sampah lainnya lama-kelamaan membusuk karena kerjasama antara mikroorganisme dengan cuaca. Sedangkan menurut  J.H. Crawford, 2003. Kompos adalah hasil penguraian parsial/ tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Definisi lain menyebutkan, Kompos atau humus adalah sisa-sisa mahluk hidup yang telah mengalami pelapukan, bentuknya sudah berubah seperti tanah dan tidak berbau.
Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Definisi lain menyebutkan, pengomposan merupakan penguraian dan pemantapan bahan-bahan organik secara biologis dalam temperatur thermophilic (suhu tinggi) dengan hasil akhir berupa bahan yang cukup bagus untuk diaplikasikan ke tanah.

2.2    Pengomposan
2.2.1 Bahan-bahan yang dapat dikomposkan
Bahan-bahan yang dapat dijadikan sebagai sumber kompos diantaranya adalah:
·         Limbah ternak dan manusia, seperti limbah padat dan cair, limbah rumah tangga, limbah pemotongan hewan, limbah peternakan ayam dan babi.
·         Limbah pertanaman, limbah kayu dan gulma air, seperti limbah padi (jerami dan sekam), gulma air, kulit kacang tanah, dll.
·         Pupuk hijau seperti legume, tanaman penutup tanah, rumput.
·         Sampah kota dan pemukiman, seperti limbah padat, limbah cair, limbah biogas.
·         Limbah agro-industri, seperti sari kering, ampas tebu, bumbu masak (MSG), blotong, limbah pengolahan kayu dan kertas, serbuk gergaji, kelapa sawit.
·         Limbah hasil laut, seperti rumput laut, pakan ikan, dll. (Sutanto, 2002)
Pada prinsipnya semua bahan yang berasal dari mahluk hidup atau bahan organik dapat dikomposkan. Seresah, daun-daunan, pangkasan rumput, ranting, dan sisa kayu dapat dikomposkan. Kotoran ternak, binatang, bahkan kotoran manusia bisa dikomposkan. Kompos dari kotoran ternak lebih dikenal dengan istilah pupuk kandang. Sisa makanan dan bangkai binatang bisa juga menjadi kompos. Ada bahan yang mudah dikomposkan, ada bahan yang agak mudah, dan ada yang sulit dikomposkan. Sebagian besar bahan organik mudah dikomposkan. Bahan yang agak mudah alias agak sulit dikomposkan antara lain: kayu keras, batang, dan bambu. Bahan yang sulit dikomposkan antara lain adalah kayu-kayu yang sangat keras, tulang, rambut, tanduk, dan bulu binatang.

2.2.2 Proses Pengomposan
Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat ini terjadi dekomposisi atau penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi Karbondioksida, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari bobot awal bahan.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik yaitu dengan menggunakan oksigen atau anaerobik yaitu tidak ada oksigen. Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, contohnya asam-asam organik seperti asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine; ammonia; dan H2S.

2.2.3 Faktor yang Pempengaruhi Proses Pengomposan
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya sesuai, maka dekomposer tersebut akan bekerja giat untuk mendekomposisi limbah padat organik. Apabila kondisinya kurang sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.
Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain:
Ø  Rasio C/N, rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroba memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
Ø  Ukuran Partikel, aktivitas mikroba berada di antara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut.
Ø  Aerasi, pengomposan yang cepat dapat terjadi dalam kondisi yang cukup oksigen (aerob). Aerasi secara alami akan terjadi pada saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Aerasi ditentukan oleh posiritas dan kandungan air bahan(kelembaban). Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
Ø  Porositas, porositas adalah ruang di antara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total. Rongga-rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplay Oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan terganggu.
Ø  Kelembaban, kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut di dalam air. Kelembaban 40 - 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
Ø  Temperatur atau suhu, panas dihasilkan dari aktivitas mikroba. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30 - 60oC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 60oC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma.
Ø  pH, proses pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang lebar. pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5. pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam, secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman), sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati netral.
Ø  Kandungan Hara, kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.
Ø  Kandungan Bahan Berbahaya, beberapa bahan organik mungkin mengandung bahan-bahan yang berbahaya bagi kehidupan mikroba. Logam-logam berat seperti Mg, Cu, Zn, Nickel, Cr adalah beberapa bahan yang termasuk kategori ini. Logam-logam berat akan mengalami imobilisasi selama proses pengomposan.
Ø  Lama pengomposan, lama waktu pengomposan tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposakan, metode pengomposan yang dipergunakan dan dengan atau tanpa penambahan aktivator pengomposan. Secara alami pengomposan akan berlangsung dalam waktu beberapa minggu sampai 2 tahun hingga kompos benar-benar matang.

2.2.4 Cara Mempercepat Proses Pengomposan
Proses pengomposan dapat dipercepat dengan cara :
a.       Memanipulasi kondisi pengomposan
Cara ini dilakukan dengan memanipulasi kondisi/ faktor-faktor yang berpengaruh pada proses pengomposan. Kondisi atau faktor-faktor pengomposan dibuat seoptimum mungkin. Sebagai contoh, rasio C/N yang optimum adalah 25-35:1. Untuk membuat kondisi ini bahan-bahan yang mengandung rasio C/N tinggi dicampur dengan bahan yang mengandung rasio C/N rendah, seperti kotoran ternak. Ukuran bahan yang besar-besar dicacah sehingga ukurannya cukup kecil dan ideal untuk proses pengomposan. Bahan yang terlalu kering diberi tambahan air atau bahan yang terlalu basah dikeringkan terlebih dahulu sebelum proses pengomposan. Demikian pula untuk faktor-faktor lainnya.
b.      Menggunakan activator pengomposan
Cara ini dilakukan dengan menambahkan Organisme yang dapat mempercepat proses pengomposan: mikroba pendegradasi bahan organik dan vermikompos (cacing). Organisme lain yang banyak dipergunakan adalah mikroba, baik bakeri, aktinomicetes, maupuan kapang/cendawan. Saat ini dipasaran banyak sekali beredar aktivator-aktivator pengomposan.
c.       Memanipulasi kondisi dan menambahkan activator pengomposan
Cara ini dilakukan dengan menggabungkan cara pertama dan cara kedua. Kondisi pengomposan dibuat seoptimal mungkin dengan menambahkan aktivator pengomposan.

2.2.5 Proses Pengomposan yang Cepat dan Mudah
Membuat kompos sangat mudah. Secara alami bahan organik akan mengalami pelapukan menjadi kompos, tetapi waktunya lama antara setengah sampai satu tahun tergantung bahan dan kondisinya. Agar proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat perlu perlakuan tambahan.
Proses pengomposan dipercepat dengan menambahkan aktivator atau inokulum atau biang kompos. Aktivator ini adalah jasad renik (mikroba) yang bekerja mempercepat pelapukan bahan organik menjadi kompos. Bahan organik yang lunak dan ukurannya cukup kecil dapat dikomposkan tanpa harus dilakukan pencacahan. Tetapi bahan organik yang besar dan keras, sebaiknya dicacah terlebih dahulu. Aktivator kompos harus dicampur merata ke seluruh bahan organik agar proses pengomposan berlangsung lebih baik dan cepat.
Bahan yang akan dibuat kompos juga harus cukup mengandung air. Air ini sangat dibutuhkan untuk kehidupan jasad renik di dalam aktivator kompos. Bahan yang kering lebih sulit dikomposkan. Akan tetapi kandungan air yang terlalu banyak juga akan menghambat proses pengomposan. Jadi basahnya harus cukup. Bahan juga harus cukup mengandung udara. Seperti halnya air, udara dibutuhkan untuk kehidupan jasad renik aktivator kompos.
Untuk melindungi kompos dari lingkungan luar yang buruk, kompos perlu ditutup. Penutupan ini bertujuan untuk melindungi bahan/jasad renik dari air hujan, cahaya matahari, penguapan, dan perubahan suhu.
Bahan didiamkan selama beberapa waktu hingga kompos matang. Lama waktu yang dibutuhkan antara 2 minggu sampai 6 minggu tergantung dari bahan yang dikomposkan. Bahan-bahan yang lunak dapat dikomposkan dalam waktu yang singkat, 2 – 3 minggu. Bahan-bahan yang keras membutuhkan waktu antara 4 – 6 minggu. Ciri kompos yang sudah matang adalah bentuknya sudah berubah menjadi lebih lunak, warnanya coklat kehitaman, tidak berbau menyengat, dan mudah dihancurkan/remah.