Selasa, 10 Januari 2012

Agroforestri di Jawa Barat


A.      Agroforestri
Ø  Definisi Agroforestri
Agroforestri adalah istilah kolektif untuk sistem-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan,  yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomis antar berbagai komponen yang ada.
Ø  Unsur-unsur Agroforestri
agroforestri merupakan suatu istilah baru dari praktek-praktek pemanfaatan lahan tradisional yang memiliki unsur-unsur :
·           Penggunaan lahan atau sistem penggunaan lahan oleh manusia
·           Penerapan teknologi
·           Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan/atau ternak atau hewan
·           Waktu bisa bersamaan atau bergiliran dalam suatu periode tertentu
·           Ada interaksi ekologi, sosial, ekonomi
Ø  Ciri Agroforestri
Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Lundgren dan Raintree, (1982) adalah:
1.         Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan).  Paling tidak satu di antaranya tumbuhan berkayu.
2.         Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.
3.         Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.
4.         Selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product), misalnya pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, obat-obatan.
5.         Minimal mempunyai satu fungsi pelayanan jasa (service function), misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga dijadikan pusat berkumpulnya keluarga/masyarakat.
6.         Untuk sistem pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen.
7.         Sistem agroforestri yang paling sederhanapun secara biologis (struktur dan fungsi) maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan sistem budidaya monokultur.
Ø  Sasaran dan Tujuan Agroforestri
Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.
Dalam mewujudkan sasaran ini, agroforestri diharapkan lebih banyak memanfaatkan tenaga ataupun sumber daya sendiri (internal) dibandingkan sumber-sumber dari luar.  Di samping itu agroforestri diharapkan dapat meningkatkan daya dukung ekologi manusia, khususnya di daerah pedesaan. Untuk daerah tropis, beberapa masalah (ekonomi dan ekologi) berikut menjadi mandat agroforestri dalam pemecahannya (von Maydell, 1986):
a. Menjamin dan memperbaiki kebutuhan bahan pangan dengan,
1.        Meningkatkan persediaan pangan baik tahunan atau tiap-tiap musim; perbaikan kualitas nutrisi, pemasaran, dan proses-proses dalam agroindustri.
2.        Diversifikasi produk dan pengurangan risiko gagal panen.
3.        Keterjaminan bahan pangan secara berkesinambungan.



b. Memperbaiki penyediaan energi lokal, khususnya produksi kayu bakar:
Suplai yang lebih baik untuk memasak dan pemanasan rumah (catatan: yang terakhir ini terutama di daerah pegunungan atau berhawa dingin)
c.    Meningkatkan, memperbaiki secara kualitatif dan diversifikasi produksi bahan mentah kehutanan maupun pertanian:
1.        Pemanfaatan berbagai jenis pohon dan perdu, khususnya untuk produk-produk yang dapat menggantikan ketergantungan dari luar (misal: zat pewarna, serat, obat-obatan, zat perekat, dll.) atau yang mungkin dijual untuk memperoleh pendapatan tunai.
2.        Diversifikasi produk.
d.  Memperbaiki kualitas hidup daerah pedesaan, khususnya pada daerah dengan persyaratan hidup yang sulit di mana masyarakat miskin banyak dijumpai:
1.        Mengusahakan peningkatan pendapatan, ketersediaan pekerjaan yang menarik.
2.        Mempertahankan orang-orang muda di pedesaan, struktur keluarga yang tradisional, pemukiman, pengaturan pemilikan lahan.
3.        Memelihara nilai-nilai budaya.
e.  Memelihara dan bila mungkin memperbaiki kemampuan produksi dan jasa lingkungan setempat:
1.        Mencegah terjadinya erosi tanah, degradasi lingkungan.
2.        Perlindungan keanekaragaman hayati.
3.        Perbaikan tanah melalui fungsi ‘pompa’ pohon dan perdu, mulsa dan perdu.
4.        Shelterbelt, pohon pelindung (shade trees), windbrake, pagar hidup (life fence).
5.        Pengelolaan sumber air secara lebih baik.
Tujuan tersebut diharapkan dapat dicapai dengan cara mengoptimalkan interaksi positif antara berbagai komponen penyusunnya (pohon, produksi tanaman pertanian, ternak/hewan) atau interaksi antara komponen-komponen tersebut dengan lingkungannya.  Dalam kaitan ini ada beberapa keunggulan agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan lainnya, yaitu dalam hal:
1.           Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa produk total sistem campuran dalam agroforestri jauh lebih tinggi dibandingkan pada monokultur.  Hal tersebut disebabkan bukan saja keluaran (output) dari satu bidang lahan yang beragam, akan tetapi juga dapat merata sepanjang tahun.  Adanya tanaman campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman lainnya.
2.      Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas yang tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa.  Dengan demikian dari segi ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar.  Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal pemanen sebagaimana dapat terjadi pada budidaya tunggal (monokultur).
3.      Kemandirian (Self-regulation): Diversifikasi yang tinggi dalam agroforestri diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, dan petani kecil dan sekaligus melepaskannya dari ketergantungan terhadap produk- produk luar. Kemandirian sistem untuk berfungsi akan lebih baik dalam arti tidak memerlukan banyak input dari luar (a.l. pupuk, pestisida), dengan diversitas yang lebih tinggi daripada sistem monokultur\
4.      Stabilitas (Stability): Praktek agroforestri yang memiliki diversitas dan produktivitas yang optimal mampu memberikan hasil yang seimbang sepanjang pengusahaan lahan, sehingga dapat menjamin stabilitas (dan kesinambungan) pendapatan petani.


B.     Agroforestri di Jawa Barat
Ø  Keadaan Hutan di Jawa Barat
Luas wilayah Provinsi Jawa Barat  adalah seluas  3.709.528,44 hektar sedangkan luas hutan di Jawa Barat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/Kpts-II/2003 adalah seluas 816.603 hektar, jadi luas kawasan hutan adalah 22,01 % dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat.
Sesuai denganperuntukannya luas hutan di Jawa Barat terbagi sebagai berikut :
1.      Hutan Konservasi ( dikelola oleh Balai Besar KSDA Jawa Barat dan Banten, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede pangrango, Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Balai Taman Nasional Gunung Ciremai) seluas 132.180 hektar.
2.      Hutan Produksi (dikelola oleh Perum Perhutani Jawa Barat Banten) seluas 202.965 hektar.
3.      Hutan Produksi Terbatas (dikelola oleh Perum Perhutani Jawa Barat Banten) seluas 190.152 hektar.
4.      Hutan Lindung (dikelola oleh Perum Perhutani Jawa Barat Banten) seluas 291.306 hektar.
Peranan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat dalam Pengelolaan Hutan di Jawa Barat sesuaidengan Surat Keputusan Gubernur Nomor 44 Tahun 2001 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Rincian Tugas unit Dinas Kehutanan, Regulator.
Visi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat adalah Meningkatkan fungsi Sumber Daya Hutan di Jawa Barat Tahun 2010. Adapun Misi Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat adalah sebagai berikut :
1.      Meningkatkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan.
2.      Optimalisasi pemanfaatan hutan dan hasil hutan.
3.      Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan melalui pengelolaan partisipatif.
4.      Memanfaatkan dan mengamankan Kawasan Hutan dan Kawasan Lindung.
5.      Penguatan Desentralisasi Pembangungan Hutan.
Ø  Alih Fungsi Hutan di Jawa Barat
Wahana lingkungan hidup Indonesia (Walhi) Jabar mengingatkan pemerintah dan masyarakat akan terjadinya bencana lingkungan akibat alih fungsi areal hutan di Jawa Barat yang mencapai 95.000 hektare. atau 10 persen dari total kawasan hutan negara di Jawa Barat. Artinya jika rata-rata tegakan dalam 1 Ha adalah 1.000 pohon maka sekitar 95 juta pohon lenyap dari hutan.
Alih fungsi sebagian besar terjadi di kawasan hutan yang dikelola oleh Perhutani melalui skema kerjasama operasional (KSO) dan pinjam pakai kawasan. Kegiatan pertambangan mineral dan panas bumi baik terbuka maupun tertutup, wanawisata, pertanian dan pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang utama kerusakan hutan. Sementara, berdasarkan data dari BPLHD Jawa Barat tahun 2010 saja sekitar 515.000 Ha kondisi hutan masih berada dalam kondisi kritis dan belum terpulihkan.
Di samping itu, pendapatan negara dari sektor kehutanan di Jawa Barat belum secara terbuka menjadi informasi publik. Kegiatan alih fungsi kawasan hutan menjadi pertambangan, wanawisata, dan jenis usaha lainya menyimpan potensi korupsi dan kerugian negara yang cukup besar. Berdasarkan kajian Walhi Jawa Barat, dari sekitar 18 perusahaan tambang di kabupaten Bogor diperkirakan pendapatan sektor kehutanan yang dihasilkan sekitar Rp 78 milyar selama 5 tahun, artinya dari satu perusahaan potensi pendapatan negara bisa mencapai rata-rata 4 Milyar dalam setahun.
 Berdasarkan data yang dimiliki Walhi Jabar, tercatat sekitar 790 KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dilakukan oleh Perum Perhutani di Kesatun Pemangkuan Hutan (KPH) di 15 Kabupaten/Kota di Jawa Barat dalam rentang 2007-2012. Artinya potensi pendapatan dari KSO dan pinjam pakai kawasan jika diakumulasi rata-rata bisa mencapai Rp 3.160 milyar atau Rp 3,16 Trilyun. Bisa dipastikan betapa besarnya pendapatan dari sejumlah KSO dan pinjam pakai kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani serta kerjasama-kerjasama yang dilakukan BBKSDA dan Dinas Kehutanan di Jawa Barat.
Ø  Agroforestri di Majalengka
Majalengka merupakan daerah yang memiliki perhatian lebih terhadap kelestarian hutan yang sekarang sudah banyak beralih fungsi. Pasalnya tingkat kerusakan hutan di Kabupaten Majalengka tampaknya sudah memasuki tahap mengkhawatirkan. Sejumlah hutan yang ada di wilayah kota angin saat ini sebagian besar gundul akibat adanya aktivitas penebangan liar. Salah seorang aktivis lingkungan di Kabupaten Majalengka mengatakan, saat ini kondisi kerusakan hutan yang terjadi di wilayah Majalengka cukup memprihatinkan. Terlebih banyaknya penebangan pohon yang dilakukan sejumlah pengusaha kayu untuk kebutuhan industri di Majalengka.
Selain itu, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Majalengka, Ir Bayu Jaya MSi sebelumnya sempat mengakui jika tingkat kerusakan lingkungan dan hutan termasuk di Majalengka semakin tinggi. Bahkan berdasarkan hasil pemetaan secara nasional setiap tahunnya hutan yang hilang di Indonesia mencapi Rp1,08 juta hektare termasuk hutan di Majalengka akibat perambahan maupun pembukaan lahan.
Akibat berkurangnya hutan, membuat keseimbangan alam berkurang. Salah satunya debit air mulai sulit, rob atau gelombang laut meningkat dan sejumlah kasus alam lainya. Hal itu tentunya tidak bisa dibiarkan, sebab konsep konservasi hutan harus dilaksanakan sebagai upaya penyeimbang dan menjaga agar debit air tetap stabil.
Sedangkan lahan kritis yang ada di Majalengka saat ini kata dia, cukup besar yakni mencapai sekitar 20.453 hektare dari luas wilayah yang mencapai 120.424 hektare. Ditambah 69.372 hektare lahan kering untuk persawahan.
Agroforestri merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas lingkungan. Kementerian Kehutanan terus memerluas wilayah cakupan agroforestri. Kepala Balitbang Kementerian Kehutanan, Tachrir Fathony, mengatakan angka penduduk miskin sekitar hutan mencapai puluhan juta orang atau masih tersisa 35 persen. Menurutnya agroforestri adalah jalan meningkatkan ekonomi masyarakat.
Hutan-hutan di Pulau Jawa, khususnya yang dikelola oleh Perum Perhutani, sebagian besarnya sudah menerapkan sistem agroforestri. Dalam program terbaru di Solo (Jawa Tengah), sepuluh hektar (ha) kebun tanaman obat direncanakan dibangun.
Seperti di Majalengka (Jawa Barat), seluas 340 ha lahan akan menjadi kawasan hutan agroforestri dengan sistem multilayer. Layer (lapisan) atas untuk tanaman pohon, lapisan tengah untuk tanaman berkayu. Sementara, layer bawah untuk tanaman pertanian dan perkebunan serta areal gembala ternak.
Sejak 1992 misalnya, Kemenhut bekerjasama dengan The World Agroforestry Center (Icraf) mengembangkan agroforestri di berbagai wilayah regional. Diantaranya fokus di Sumatera dan Papua.Daerah-daerah sebaran agroforestri antara lain Pariaman (Sumatera Barat), Aceh, Papua, NTB, Rarung (Mataram), dan Air Nauli (Sumatera Utara). Penerapannya harus menyeimbangkan jumlah pohon dengan tanaman agroforestri. Berikutnya, ada pemilihan jenis-jenis tanaman apa saja yang bisa ditanam.
Salah satu contoh tanaman agroforestri yang potensial adalah karet. Penelitian Icraf pada 2010 menunjukkan terjadi peningkatan jumlah rumah tangga masyarakat sekitar hutan yang mengadopsi agroforestri karet. Dalam hal ini, Icraf memberikan informasi tentang pengembangan karet menggunakan pendekatan tradisional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar